Rasulan adalah suatu tradisi yang
sudah berlangsung sejak lama bagi masyarakat kabupaten Gunungkidul dan
sekitarnya. Biasanya di tempat lain tradisi ini di sebut dengan tradisi merti
dusun atau merti desa. Rasulan diadakan setelah selesai melakukan panen dan
merupakan acara yang diadakan oleh masyarakat sebagai ungkapan syukur atas
panen yang diberikan oleh Sang Pemberi rejeki. Biasanya kegiatan rasulan ini
diselenggarakan per pedukuhan/ dusun dengan waktu pelaksanaan yang berbeda-
beda.
Banyak rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka rasulan ini. Biasanya kegiatan ini di mulai dengan
kegiatan bersih dusun dengan melakukan kerja bakti di sekitar lingkungan
mereka. Acara rasulan ini pun menjadi semakin semarak dengan berbagai
pertunjukan yang di adakan seperti reog, jathilan, kethoprak, wayang, dan
kegiatan pementasan kesenian yang lain. Pada puncak acara rasulan ini di adakan
semacam kirab mengelilingi dusun. Semua peserta kirab mengenakan aksesoris
tradisional ataupun sesuatu yang unik untuk di pertontonkan. Biasanya kostum-
kostum yang di kenakan merepresentasikan kehidupan masyarakatnya yaitu seperti
kelompok petani yang memakai caping dan cangkul, guru yang memegang buku,
siswa- siswi sekolah yang mengenakan seragam sekolah, kelompok seni dengan
seragam identitasnya, klub sepak bola dengan seragam bolanya, dan masih banyak
lagi. Ada juga kelompok pemuda yang mengenakan seragam tentara dengan meriam
tiruan dari bambu sebagai perlambang ketahanan dan keamanan. Selain mengenakan
berbagai macam aksesoris dalam kirab rasulan juga di sertakan segala macam
hasil panen yang merupakan bentuk syukur masyarakat atas panen yang melimpah,
dari pisang, jagung, kacang, padi, dan lain sebagainya.
Pada hari pelaksanaan rasulan itupun
setiap keluarga memasak masakan spesial untuk tamu- tamu mereka. Hal ini mirip
dengan tradisi lebaran dimana seseorang datang ke tempat kerabatnya kemudian
menikmati hidangan spesial yang disediakan tuan rumah. Sungguh sangat terasa
suasana kekerabatan ketika ada acara semacam ini. Sebagai salah satu bentuk
kearifan local (local wisdom), ada beberapa nilai positif dari pelaksanaan
tradisi rasulan ini. Yang pertama yaitu adanya kesadaran bahwa rejeki yang di
terima merupakan Anugerah dari Yang Maha Kuasa yang patut di syukuri. Ini
berkaitan dengan inti dari pelaksanaan rasulan itu sendiri yaitu sebagai
ungkapan rasa syukur atas karunia yang telah di berikan oleh Sang Pencipta.
Yang kedua yaitu adanya semangat untuk memelihara budaya dan kesenian. Hal ini
tercermin dengan adanya acara- acara kesenian seperti kethoprak, reog,
jathilan, wayang, dan kegiatan seni lainya dalam setiap pelakasanaan rasulan.
Ini merupakan suatu hal yang positif mengingat saat ini kemajuan zaman dan
informasi telah dengan cepat mengikis budaya- budaya bangsa yang patut kita
lestarikan. Ketiga yaitu sebagai sarana untuk kembali memupuk semangat
kekeluargaan antar warga dan juga semangat nasionalitas. Dengan adanya tradisi
ini masyarakat terus menjaga kebersamaan baik untuk kegiatan pra rasulan maupun
saat pelaksanaan itu sendiri yang tentu saja dapat memupuk kembali semangat
kekeluargaan.
CEK SELENGKPANYA DI : https://youtu.be/onQW9nLPt0M
Tradisi Babat Dalan
Desa Giring merupakan bagian dari
wilayah Kecamatan Paliyan. Mayoritas wilayah Desa Giring, merupakan tanah
kering, dan sebagian berupa hutan, sedikit tanah sawah dengan variasi tanaman
jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai.. Desa Giring mengingatkan adanya
nama tokoh yang cukup dikenal. Dari cerita yang berkembang dalam masyarakat
mengenai desa tersebut. Desa Giring memang terkait dengan beberapa peristiwa,
seperti misalnya upacara Babat Dalan yang terkait dengan tokoh Ki Ageng Giring,
yang dulu dikenal dengan nama Kyai Ageng Wonomenggolo, putra Majapahit Prabu
Brawijaya IV.
Menurut cerita, dahulu di Giring
dan Sada pernah terjadi wabah atau pagebluk. Para tokoh masyarakat kemudian
berupaya mencari makam Ki Ageng Giring. Pada saat mencari makam tersebut, di
sepanjang jalan mereka "mbabati" atau membersihkan jalan yang menuju
ke lokasi makam. Sepanjang jalan mereka mendapati sebidang tanah yang bau wangi
dan tulang atau bangkai burung berceceran disekitarnya. Saat membuat jalan
tersebut, ditemukan beberapa buah benda yaitu tutup kepala dan sebuah tongkat
(diberi nama teken dan kethu) yang dipercayai bahwa benda tersebut milik Ki
Ageng Giring. Para pencari makam tadi melakukan semedi dan berjanji akan
melakukan syukuran "ambengan" bila Desa Giring dan Sada dapat kembali
seperti dulu tanpa pagebluk. Ki Ageng Giring secara kebetulan disemayamkan di
Desa Sada.
Cerita tersebut mengandung ajaran
kepada seseorang untuk "membersihkan jiwa dari hal-hal yang tidak
baik", mengingat Ki Ageng Giring adalah murid Sunan Kalijaga. Dahulu
masyarakat setempat melaksanakan upacara ini di masjid Sada dengan sarana
upacara adalah "ringin kurung" harus diikat dengan janur, dan mereka
membawa clathung (arit) untuk mengambil janur yang dipasang pada pohon kukun
(yang ditanam oleh sesepuh Giring).
Upacara Babat Dalan diselenggarakan
satu tahun sekali di Desa Giring dan Desa Sada, setelah petani panen padi yaitu
pada hari Jumat kliwon pukul 15.00 WIB. Upacara ini diadakan pada hari tersebut
karena ada hubungannya dengan saat utusan dari Kraton mencari tempat makamnya
Ki Ageng Giring. Dahulu upacara tersebut dilaksanakan secara bersama-sama di
Desa Giring, namun dalam perkembangannya, kedua desa masing-masing melaksanakan
sendiri. Tujuan utama diadakannya upacara ini untuk mengingatkan ajaran–ajaran
Ki Ageng Giring yang terkandung dalam upacara Babat Dalan yaitu mendekatkan
diri kepada Yang Maha Agung, keprihatinan, dan keteguhan hati dalam keimanan.
Selain itu, berkaitan pula dengan adanya kepercayaan supaya warga desa diberi
keselamatan dan kesejahteraan dengan mengadakan upacara tradisional tersebut.
Pada hari Kamis Wage, dusun-dusun
yang berada di wilayah Desa Giring, mengadakan malam tirakatan, dan pada pagi
harinya, Jumat Kliwon, semua sesaji yang telah dipersiapkan dibawa ke balai
desa tempat upacara. Sesaji yang diperlukan dalam upacara Babat Dalan berupa:
a. Abon–abon,
yang berisi kemeyan, tembakau, kemmbang telon, dan sekedar uang,
b. Jenang,
dengan warna abang, abang-putih, baro-baro, moncowarno, pliringan, dan blowok
c. Tumpeng,
yaitu among-among, tempung asmpur, ambengan, nasi wudhuk-ingkung ayam, jadah
woran, abon kelapa, pisang ayu, brakahan (polo kependhem, polo gumantung),
Sebelum acara dimulai, pemimpin
upacara membacakan satu per satu jenis sesaji, dan para pesertanya menyetujui
dan membenarkannya. Tepat pukul 15.00 WIB, upacara dimulai dengan mengikrarkan
ujub oleh sesepuh desa disertai dengan pembakaran kemenyan dan pembacaan mantra
suci, yaitu pemusatan hati ke alam semedi menurut kepercayaan masing-masing.
Setelah itu dilanjutkan dengan doa selamat. Selesai doa selamat, semua sesaji
yang berupa nasi dan lauk pauk dimakan bersama. Biasanya ada sisa nasi yang
dibawa pulang, baik untuk keluarga yang tidak bisa ikut upacara, maupun untuk
dikeringkan menjadi aking. Aking tersebut dicampur dengan benih padi agar
ketika benih tersebut disebarkan di lahan, para warga akan memperoleh hasil
panen yang baik, karena sudah mendapat berkah dari Ki Ageng Giring
CEK SELENGKAPNYA DI : https://youtu.be/1lzemLPyEYY
Tradisi Pembukaan Cupu Kiai Panjolo
Upacara Ritual Pembukaan Cupu Kyai Panjolo yang dipercaya merupakan ramalan kejadian alam dalam rentang satu tahun ke depan di Desa Mendak Girisekar, Kecamatan Panggang, kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Awalnya ketika salah satu murid dari Sunan Kalijogo mencari anaknya yang hilang di lautan. Jika ingin menemukan anaknya, ia harus berpuasa tujuh hari tujuh malam, membawa nasi segenggam dan jala. Ketika ia melempar jala ke arah laut, lalu ia menemukan anaknya membawa beberapa barang berharga, salah satunya cupu," kata Lekso, salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta, Selasa, mengenai latar kegiatan tersebut.
Lekso mengatakan bahwa sang anak
dinamakan Kyai Panjolo (jala), karena ditemukan dengan jala di laut. Cupu itu
berbentuk cawan kecil, dibungkus oleh kain kafan, dan disimpan dalam lemari
tertutup. Ketika beberapa bulan kemudian dibuka, pada kain tersebut terdapat
pola - pola air lembab yang bisa dibaca sebagai prediksi peristiwa yang akan
terjadi, selain itu, kadang pada kain tersebut terdapat jarum, kulit kacang,
gabah kering atau hal-hal lainnya. Barang-barang tersebut juga dapat mendukung
prediksi yang akan terjadi. Pada tiap-tiap lembar kafan ini ditemukan benda
atau gambar yang dipercayai sebagai ramalan. Selain ramalan kejadian alam, cupu
Kyai Panjolo juga dipercayai berisi ramalan politik dalam dan luar negeri, juga
berisi ramalan bagi petani terutama yang menyangkut keberhasilan tanaman
pangan.
Pembukaan cupu tersebut baru
dilakukan pada pukul 01.00 WIB dan selesai Subuh, namun sejak sore warga sudah
banyak yang berdatangan. Dan untuk mengantisipasi meluapnya peziarah,
pemerintah setempat menyediakan layar monitor agar mereka dengan leluasa
menyaksikan pembukaan cupu peninggalan Kyai Panjolo, tanpa perlu
berdesak-desakan.
CEK SELENGKAPNYA DI : https://youtu.be/-bsbECPNUJo
Tradisi Cing Cing Goling.
Cing-Cing
Goling adalah salah satu upacara adat daerah Gunungkidul Yogyakarta yang sampai
sekarang ini masih diselenggarakan oleh masyarakat Gunungkidul untuk
memperingati kisah perjalanan hidup Wisang Sanjaya dan Yudopati dari kejaran
pasukan kerajaan Majapahit kala itu. Dalam pelariannya kedua prajurit itu
sampai di desa gedangan gunungkidul.
Kemudian
para prajurit itu selalu berbaur dengan warga sekitar, karena merupakan tipe
pekerja keras dan supel akhirnya warga menerima kehadiran kedua prajurit itu
dengan senang. Terlebih lagi saat mereka mampu mengusir para perampok yang
selalu datang dan merampok hasil panen desa ini. Selain itu mereka juga
membangun bendungan di kali dawe yang sekarang ini dikenal dengan nama
bendungan kedung dawang. Dengan dibangunnya bendungan tersebut, maka hasil
penen dari masyarakat desa gedangan menjadi bertambah banyak karena sistem
irigasi pengairan ke sawah menjadi lebih mudah dan selalu tersedia air
sepanjang tahun. Karena mendapatkan hasil penen yang melimpah, maka warga
mengadakan syukuran kepada Tuhan agar senantiasa diberikan panen yang melimpah.
Dan kini lebih dikenal sebagai upacara adat Cing-Cing Goling yang sampai
sekarang ini masih dilestarikan hinga menjadi daya tarik wisatawan untuk
mengunjungi gunungkidul.
Biasanya
acara Cing-Cing Goling ini ada arak-arakan sesaji hasil panen. Selain itu juga
ditampilkan tarian Cing-Cing Goling di tengah sawah. Selain itu juga ada
ingkung (ayam) berjumlah 800, nasi dan yang lainnya, dan nantinya aan dibagikan
kepada seluruh warga agar dapat menikmati pula hasil panen yang melimpah.
Jangan lupa selalu bawa kamera anda untun mengabadikan momen penting saat acara
adat Cing-Cing Goling berlangsung.
CEK SELENGKAPNYA DI : https://youtu.be/Y8jUwvC7d4s
Tradisi Gadean Gunung Gentong
Warga Kecamatan
Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggelar
upacara adat Gadean Gunung Gentong di situs cagar budaya petilasan Prabu Brawijaya
ke V di Pedukuhan Manggung, Desa Ngalang. Upacara adat ini sebagai bentuk penghormatan
warga kepada leluhur. Sejak pagi masyarakat berkumpul di area Nyadran menunggu
rombongan kirab yang berjalan menuju lokasi, dari anak-anak hingga orang tua,
bahkan ada pula wisatawan yang ikut menyaksikan acara Nyadran tahun ini. Bertolak
dari Balai Desa Ngalang warga masyarakat membawa hasil panen mereka menggunakan
jodhang menuju ke lokasi upacara adat Gadean Gunung Gentong yang berjarak
sekitar 3 Km. Dengan cara dipikul masyarakat berjalan kaki melewati rute dengan
kondisi jalan yang menanjak dan curam. Pembawa hasil panen tersebut tidak boleh
beristirahat atau berhenti sebelum sampai di Watu Lincip. Setelah sampai di
Watu Lincip, pembawa hasil panen telah ditunggu oleh pamong desa, tokoh masyarakat
serta disambut dengan kesenian jathil.
Jodhang kemudian diarak menuju ke lokasi upacara untuk diserahkan kepada panitia dan sesepuh pelaksanaan upacara adat. Selanjutnya digelar doa bersama, lalu bahan makanan dibagikan kepada warga masyarakat dan tamu undangan yang hadir di acara tersebut.
Jodhang kemudian diarak menuju ke lokasi upacara untuk diserahkan kepada panitia dan sesepuh pelaksanaan upacara adat. Selanjutnya digelar doa bersama, lalu bahan makanan dibagikan kepada warga masyarakat dan tamu undangan yang hadir di acara tersebut.
Kegiatan ini sudah
berlangsung turun-temurun. Upacara ini diyakini, petilasan pernah disinggahi
Prabu Brawijaya V bersama prajuritnya ketika dalam pelarian, sebagian di antara
mereka kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Ngalang. Tradisi ini juga
dianggap sebagai bentuk penghormatan warga kepada leluhur.
Momentum Nyadran menjadi wisata budaya yang menarik minat para wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk datang ke kawasan destinasi wisata Gunung Gentong Gedangsari Gunung kidul (4G).
Momentum Nyadran menjadi wisata budaya yang menarik minat para wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk datang ke kawasan destinasi wisata Gunung Gentong Gedangsari Gunung kidul (4G).
CEK SELENGKAPNYA DI : https://youtu.be/KqtLZeZ21_U
Tidak ada komentar:
Posting Komentar