Rabu, 03 Mei 2017

POTENSI WISATA BUDAYA GUNUNGKIDUL

Tradisi Rasulan


Rasulan adalah suatu tradisi yang sudah berlangsung sejak lama bagi masyarakat kabupaten Gunungkidul dan sekitarnya. Biasanya di tempat lain tradisi ini di sebut dengan tradisi merti dusun atau merti desa. Rasulan diadakan setelah selesai melakukan panen dan merupakan acara yang diadakan oleh masyarakat sebagai ungkapan syukur atas panen yang diberikan oleh Sang Pemberi rejeki. Biasanya kegiatan rasulan ini diselenggarakan per pedukuhan/ dusun dengan waktu pelaksanaan yang berbeda- beda.
Banyak rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka rasulan ini. Biasanya kegiatan ini di mulai dengan kegiatan bersih dusun dengan melakukan kerja bakti di sekitar lingkungan mereka. Acara rasulan ini pun menjadi semakin semarak dengan berbagai pertunjukan yang di adakan seperti reog, jathilan, kethoprak, wayang, dan kegiatan pementasan kesenian yang lain. Pada puncak acara rasulan ini di adakan semacam kirab mengelilingi dusun. Semua peserta kirab mengenakan aksesoris tradisional ataupun sesuatu yang unik untuk di pertontonkan. Biasanya kostum- kostum yang di kenakan merepresentasikan kehidupan masyarakatnya yaitu seperti kelompok petani yang memakai caping dan cangkul, guru yang memegang buku, siswa- siswi sekolah yang mengenakan seragam sekolah, kelompok seni dengan seragam identitasnya, klub sepak bola dengan seragam bolanya, dan masih banyak lagi. Ada juga kelompok pemuda yang mengenakan seragam tentara dengan meriam tiruan dari bambu sebagai perlambang ketahanan dan keamanan. Selain mengenakan berbagai macam aksesoris dalam kirab rasulan juga di sertakan segala macam hasil panen yang merupakan bentuk syukur masyarakat atas panen yang melimpah, dari pisang, jagung, kacang, padi, dan lain sebagainya.
Pada hari pelaksanaan rasulan itupun setiap keluarga memasak masakan spesial untuk tamu- tamu mereka. Hal ini mirip dengan tradisi lebaran dimana seseorang datang ke tempat kerabatnya kemudian menikmati hidangan spesial yang disediakan tuan rumah. Sungguh sangat terasa suasana kekerabatan ketika ada acara semacam ini. Sebagai salah satu bentuk kearifan local (local wisdom), ada beberapa nilai positif dari pelaksanaan tradisi rasulan ini. Yang pertama yaitu adanya kesadaran bahwa rejeki yang di terima merupakan Anugerah dari Yang Maha Kuasa yang patut di syukuri. Ini berkaitan dengan inti dari pelaksanaan rasulan itu sendiri yaitu sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia yang telah di berikan oleh Sang Pencipta. Yang kedua yaitu adanya semangat untuk memelihara budaya dan kesenian. Hal ini tercermin dengan adanya acara- acara kesenian seperti kethoprak, reog, jathilan, wayang, dan kegiatan seni lainya dalam setiap pelakasanaan rasulan. Ini merupakan suatu hal yang positif mengingat saat ini kemajuan zaman dan informasi telah dengan cepat mengikis budaya- budaya bangsa yang patut kita lestarikan. Ketiga yaitu sebagai sarana untuk kembali memupuk semangat kekeluargaan antar warga dan juga semangat nasionalitas. Dengan adanya tradisi ini masyarakat terus menjaga kebersamaan baik untuk kegiatan pra rasulan maupun saat pelaksanaan itu sendiri yang tentu saja dapat memupuk kembali semangat kekeluargaan.
CEK SELENGKPANYA DI : https://youtu.be/onQW9nLPt0M


Tradisi Babat Dalan

Desa Giring merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Paliyan. Mayoritas wilayah Desa Giring, merupakan tanah kering, dan sebagian berupa hutan, sedikit tanah sawah dengan variasi tanaman jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai.. Desa Giring mengingatkan adanya nama tokoh yang cukup dikenal. Dari cerita yang berkembang dalam masyarakat mengenai desa tersebut. Desa Giring memang terkait dengan beberapa peristiwa, seperti misalnya upacara Babat Dalan yang terkait dengan tokoh Ki Ageng Giring, yang dulu dikenal dengan nama Kyai Ageng Wonomenggolo, putra Majapahit Prabu Brawijaya IV.

Menurut cerita, dahulu di Giring dan Sada pernah terjadi wabah atau pagebluk. Para tokoh masyarakat kemudian berupaya mencari makam Ki Ageng Giring. Pada saat mencari makam tersebut, di sepanjang jalan mereka "mbabati" atau membersihkan jalan yang menuju ke lokasi makam. Sepanjang jalan mereka mendapati sebidang tanah yang bau wangi dan tulang atau bangkai burung berceceran disekitarnya. Saat membuat jalan tersebut, ditemukan beberapa buah benda yaitu tutup kepala dan sebuah tongkat (diberi nama teken dan kethu) yang dipercayai bahwa benda tersebut milik Ki Ageng Giring. Para pencari makam tadi melakukan semedi dan berjanji akan melakukan syukuran "ambengan" bila Desa Giring dan Sada dapat kembali seperti dulu tanpa pagebluk. Ki Ageng Giring secara kebetulan disemayamkan di Desa Sada.

Cerita tersebut mengandung ajaran kepada seseorang untuk "membersihkan jiwa dari hal-hal yang tidak baik", mengingat Ki Ageng Giring adalah murid Sunan Kalijaga. Dahulu masyarakat setempat melaksanakan upacara ini di masjid Sada dengan sarana upacara adalah "ringin kurung" harus diikat dengan janur, dan mereka membawa clathung (arit) untuk mengambil janur yang dipasang pada pohon kukun (yang ditanam oleh sesepuh Giring).
Upacara Babat Dalan diselenggarakan satu tahun sekali di Desa Giring dan Desa Sada, setelah petani panen padi yaitu pada hari Jumat kliwon pukul 15.00 WIB. Upacara ini diadakan pada hari tersebut karena ada hubungannya dengan saat utusan dari Kraton mencari tempat makamnya Ki Ageng Giring. Dahulu upacara tersebut dilaksanakan secara bersama-sama di Desa Giring, namun dalam perkembangannya, kedua desa masing-masing melaksanakan sendiri. Tujuan utama diadakannya upacara ini untuk mengingatkan ajaran–ajaran Ki Ageng Giring yang terkandung dalam upacara Babat Dalan yaitu mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung, keprihatinan, dan keteguhan hati dalam keimanan. Selain itu, berkaitan pula dengan adanya kepercayaan supaya warga desa diberi keselamatan dan kesejahteraan dengan mengadakan upacara tradisional tersebut.
Pada hari Kamis Wage, dusun-dusun yang berada di wilayah Desa Giring, mengadakan malam tirakatan, dan pada pagi harinya, Jumat Kliwon, semua sesaji yang telah dipersiapkan dibawa ke balai desa tempat upacara. Sesaji yang diperlukan dalam upacara Babat Dalan berupa:
a.       Abon–abon, yang berisi kemeyan, tembakau, kemmbang telon, dan sekedar uang,
b.      Jenang, dengan warna abang, abang-putih, baro-baro, moncowarno, pliringan, dan blowok
c.       Tumpeng, yaitu among-among, tempung asmpur, ambengan, nasi wudhuk-ingkung ayam, jadah woran, abon kelapa, pisang ayu, brakahan (polo kependhem, polo gumantung),
Sebelum acara dimulai, pemimpin upacara membacakan satu per satu jenis sesaji, dan para pesertanya menyetujui dan membenarkannya. Tepat pukul 15.00 WIB, upacara dimulai dengan mengikrarkan ujub oleh sesepuh desa disertai dengan pembakaran kemenyan dan pembacaan mantra suci, yaitu pemusatan hati ke alam semedi menurut kepercayaan masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan doa selamat. Selesai doa selamat, semua sesaji yang berupa nasi dan lauk pauk dimakan bersama. Biasanya ada sisa nasi yang dibawa pulang, baik untuk keluarga yang tidak bisa ikut upacara, maupun untuk dikeringkan menjadi aking. Aking tersebut dicampur dengan benih padi agar ketika benih tersebut disebarkan di lahan, para warga akan memperoleh hasil panen yang baik, karena sudah mendapat berkah dari Ki Ageng Giring
CEK SELENGKAPNYA DI : https://youtu.be/1lzemLPyEYY 

Tradisi Pembukaan Cupu Kiai Panjolo
Upacara Ritual Pembukaan Cupu Kyai Panjolo yang dipercaya merupakan ramalan kejadian alam dalam rentang satu tahun ke depan di Desa Mendak Girisekar, Kecamatan Panggang, kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Awalnya ketika salah satu murid dari Sunan Kalijogo mencari anaknya yang hilang di lautan. Jika ingin menemukan anaknya, ia harus berpuasa tujuh hari tujuh malam, membawa nasi segenggam dan jala. Ketika ia melempar jala ke arah laut, lalu ia menemukan anaknya membawa beberapa barang berharga, salah satunya cupu," kata Lekso, salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta, Selasa, mengenai latar kegiatan tersebut.
Lekso mengatakan bahwa sang anak dinamakan Kyai Panjolo (jala), karena ditemukan dengan jala di laut. Cupu itu berbentuk cawan kecil, dibungkus oleh kain kafan, dan disimpan dalam lemari tertutup. Ketika beberapa bulan kemudian dibuka, pada kain tersebut terdapat pola - pola air lembab yang bisa dibaca sebagai prediksi peristiwa yang akan terjadi, selain itu, kadang pada kain tersebut terdapat jarum, kulit kacang, gabah kering atau hal-hal lainnya. Barang-barang tersebut juga dapat mendukung prediksi yang akan terjadi. Pada tiap-tiap lembar kafan ini ditemukan benda atau gambar yang dipercayai sebagai ramalan. Selain ramalan kejadian alam, cupu Kyai Panjolo juga dipercayai berisi ramalan politik dalam dan luar negeri, juga berisi ramalan bagi petani terutama yang menyangkut keberhasilan tanaman pangan.
Pembukaan cupu tersebut baru dilakukan pada pukul 01.00 WIB dan selesai Subuh, namun sejak sore warga sudah banyak yang berdatangan. Dan untuk mengantisipasi meluapnya peziarah, pemerintah setempat menyediakan layar monitor agar mereka dengan leluasa menyaksikan pembukaan cupu peninggalan Kyai Panjolo, tanpa perlu berdesak-desakan.
CEK SELENGKAPNYA DI : https://youtu.be/-bsbECPNUJo


Tradisi Cing Cing Goling.


Cing-Cing Goling adalah salah satu upacara adat daerah Gunungkidul Yogyakarta yang sampai sekarang ini masih diselenggarakan oleh masyarakat Gunungkidul untuk memperingati kisah perjalanan hidup Wisang Sanjaya dan Yudopati dari kejaran pasukan kerajaan Majapahit kala itu. Dalam pelariannya kedua prajurit itu sampai di desa gedangan gunungkidul.
Kemudian para prajurit itu selalu berbaur dengan warga sekitar, karena merupakan tipe pekerja keras dan supel akhirnya warga menerima  kehadiran kedua prajurit itu dengan senang. Terlebih lagi saat mereka mampu mengusir para perampok yang selalu datang dan merampok hasil panen desa ini. Selain itu mereka juga membangun bendungan di kali dawe yang sekarang ini dikenal dengan nama bendungan kedung dawang. Dengan dibangunnya bendungan tersebut, maka hasil penen dari masyarakat desa gedangan menjadi bertambah banyak karena sistem irigasi pengairan ke sawah menjadi lebih mudah dan selalu tersedia air sepanjang tahun. Karena mendapatkan hasil penen yang melimpah, maka warga mengadakan syukuran kepada Tuhan agar senantiasa diberikan panen yang melimpah. Dan kini lebih dikenal sebagai upacara adat Cing-Cing Goling yang sampai sekarang ini masih dilestarikan hinga menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi gunungkidul.
Biasanya acara Cing-Cing Goling ini ada arak-arakan sesaji hasil panen. Selain itu juga ditampilkan tarian Cing-Cing Goling di tengah sawah. Selain itu juga ada ingkung (ayam) berjumlah 800, nasi dan yang lainnya, dan nantinya aan dibagikan kepada seluruh warga agar dapat menikmati pula hasil panen yang melimpah. Jangan lupa selalu bawa kamera anda untun mengabadikan momen penting saat acara adat Cing-Cing Goling berlangsung. 
CEK SELENGKAPNYA DI : https://youtu.be/Y8jUwvC7d4s


Tradisi Gadean Gunung Gentong



Warga Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggelar upacara adat Gadean Gunung Gentong di situs cagar budaya petilasan Prabu Brawijaya ke V di Pedukuhan Manggung, Desa Ngalang. Upacara adat ini sebagai bentuk penghormatan warga kepada leluhur. Sejak pagi masyarakat berkumpul di area Nyadran menunggu rombongan kirab yang berjalan menuju lokasi, dari anak-anak hingga orang tua, bahkan ada pula wisatawan yang ikut menyaksikan acara Nyadran tahun ini. Bertolak dari Balai Desa Ngalang warga masyarakat membawa hasil panen mereka menggunakan jodhang menuju ke lokasi upacara adat Gadean Gunung Gentong yang berjarak sekitar 3 Km. Dengan cara dipikul masyarakat berjalan kaki melewati rute dengan kondisi jalan yang menanjak dan curam. Pembawa hasil panen tersebut tidak boleh beristirahat atau berhenti sebelum sampai di Watu Lincip. Setelah sampai di Watu Lincip, pembawa hasil panen telah ditunggu oleh pamong desa, tokoh masyarakat serta disambut dengan kesenian jathil.
Jodhang kemudian diarak menuju ke lokasi upacara untuk diserahkan kepada panitia dan sesepuh pelaksanaan upacara adat. Selanjutnya digelar doa bersama, lalu bahan makanan dibagikan kepada warga masyarakat dan tamu undangan yang hadir di acara tersebut.
Kegiatan ini sudah berlangsung turun-temurun. Upacara ini diyakini, petilasan pernah disinggahi Prabu Brawijaya V bersama prajuritnya ketika dalam pelarian, sebagian di antara mereka kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Ngalang. Tradisi ini juga dianggap sebagai bentuk penghormatan warga kepada leluhur.
Momentum Nyadran menjadi wisata budaya yang menarik minat para wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk datang ke kawasan destinasi wisata Gunung Gentong Gedangsari Gunung kidul (4G).
CEK SELENGKAPNYA DI : https://youtu.be/KqtLZeZ21_U

Tidak ada komentar:

Posting Komentar