Kampung Pitu adalah
sebuah komunitas adat yang masih tetap eksis di tengah gempuran budaya
masyarakat yang semakin modern. Komunitas adat ini berada di dataran tinggi
Pegunungan Nglanggeran. Tepatnya di Padukuhan Tlogo, Desa Ngalanggeran,
Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Menurut penuturan sesepuh adat, Mbah
Yatno Rejo, komunitas ini sudah ada sejak dahulu. Beliau sendiri adalah sesepuh
adat generasi ke-empat. Diperkirakan keberadaan komunitas ini sudah ada di
Padukuhan Tlogo sejak 200-an tahun yang lalu.
Sebelum Kampung Pitu
menjadi hunian penduduk, kampung ini adalah hutan belantara. Konon di hutan ini
terdapat sebuah pohon langka bernama pohon kinah gadung wulung. Selain
terbilang langka, pohon ini juga menyimpan sebuah pusaka yang menurut cerita memiliki
kekuatan besar. Pihak Keraton
yang mengetahui hal tersebut, langsung mengirim utusan ke Gunung Nglanggeran
untuk menjaga, membersihkan daerah sekitar pohon dan merawat pusaka yang berada
di dalamnya.
Untuk mendapat orang
terbaik, pihak Keraton
kemudian membuat sayembara untuk menentukan siapa yang akan berangkat ke Gunung
Nglanggeran. Bagi siapapun yang sanggup melaksanakan tugas dari Keraton, maka akan
diberi tanah secukupnya untuk anak dan keturunannya. Pusaka tersebut menarik
banyak orang untuk mendapatkannya. Dari beberapa orang, hanya Eyang Ira Dikrama yang mampu
menjalankan perintah dari Keraton. Setelah Eyang Ira Dikrama berhasil masuk
hutan dan mengamankan pusaka yang berada di dalam pohon kinah gadung wulung,
selanjutnya pusaka tersebut disimpan di Keraton Yogyakarta.
Akhirnya, setelah itu
banyak empu dan orang sakti yang berdatangan ingin tinggal di daerah Tlogo,
namun hanya tujuh orang yang kuat hidup. Sisanya meninggal, karena tidak kuat
dengan efek dari benda pusaka tersebut yang masih memiliki kekuatan
supranatural yang tinggi.
Jumlah
kepala keluarga (KK) yang tinggal di Kampung Pitu dari dahulu hingga sekarang
tetap berjumlah tujuh, tidak kurang tidak pula lebih. Apabila dari keturunan
mereka sudah menikah dan ingin mendirikan rumah dan KK sendiri, maka harus
keluar dari sekitar Padukuhan Tlogo. Kalaupun tetap ingin tinggal di sekitar
Tlogo, maka harus menunggu sampai ada kepala keluarga yang meninggal terlebih
dahulu.
Menurut cerita, bila
ada seorang warga Kampung Tujuh yang mendirikan bangunan rumah dan jumlah KK
lebih dari tujuh, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti
kepala keluarga sering sakit-sakitan atau tidak betah sehingga ingin pergi dari
rumahnya. Bahkan, bisa saja ada kejadian gaib yang mengganggu kehidupannya,
lebih parah lagi bisa mengakibatkan kematian. Keanehan tersebut masih ada
sampai sekarang. Hal ini menjadikan kawasan Tlogo terkesan unik dan sakral.
Itulah sejarah singkat,
mengapa kampung tersebut disebut Kampung Pitu, karena memang penduduk yang
berada di pemukiman ini berjumlah tujuh kepala keluarga (7 KK). Anehnya jumlah
7 KK itu tidak pernah berkurang dan tidak pula bertambah. Dari dahulu hingga
sekarang jumlahnya tetap 7 KK.
Menurut
penuturan sesepuh adat, pernah ada masyarakat luar yang mencoba tinggal di
Kampung Pitu, namun mereka tidak bertahan lama. Terlepas dari hal sakral dan
mitos tentang Kampung Pitu, hal yang menjadi faktor utama orang di luar kampung
tidak bisa bertahan lama di Kampung Pitu adalah faktor geo-ekonomi.
Perkampungan ini
terletak di dataran tinggi yang sulit diakses. Jalan menuju ke lokasi terbilang
sulit dijangkau. Kendaraan roda empat bisa dipastikan tidak bisa memasuki
perkampungan ini. Jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya sangatlah jauh.
Di kampung ini tidak ada toko kelontong ataupun warung yang menyediakan
kebutuhan sehari-hari, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok warga harus
keluar kampung dan berjalan berkilo-kilo menuju toko di luar kampung. KEELOKAN PARAS WANITA GUNUNGKIDUL
Gunungkidul sebagian besar adalah wilayah kars yang membuat
daerah tersebut sulit untuk mendapatkan air bersih. Namun, Gunungkidul dikenal
sebagai daerah yang banyak bahkan rata-rata perempuanya Cantik dan berkulit
bersih. Usut punya usut, dahulu kala pada waktu terjadinya Penjajahan pada
kolonial Belanda, terjadi penculikan tokoh-tokoh besar di Keraton Jogja,
Sebagian besar keturunan Keraton diungsikan ke hutan agar tidak ditemukan oleh
Belanda yang ingin menduduki Jogjakarta pada waktu itu.
Hutan itu bernawa Wonosari, yang merupakan Ibukota Kabupaten
Gunungkidul. Karena terlalu Lamanya pengungsian tersebut, hingga pada akhirnya
banyak keturunan keraton mulai menikahi penduduk setempat. Namun pernikahan
tersebut tidak resmi, bisa dibilang nikah siri, dan mempunyai keturunan disana.
Setelah konflik mereda para keluarga keraton yang diungsikan dijemput untuk
kembali ke Keraton Jogjakarta dengan tanpa membawa istri dan keturunan mereka
sewaktu pengungsian berlangsung. Jadi keturunan paras yang cantik dan kulit
bersih yang bisa terjadi didaerah yang kering tersebut terjadi karena Gen
mereka terdapat Gen yang Unggul. Karena adanya Gen tersebut maka keturunan
selanjutnya juga akan menuruni Gen yang ada pada kakek buyutnya dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar